Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengertian Sastra Melayu Klasik Beserta Ciri-Ciri dan Klasifikasinya

 A. Pengertian Sastra Melayu Klasik

Sastra Melayu klasik, atau biasa disebut pula sebagai sastra lama atau sastra tradisional adalah karya sastra yang tercipta dan berkembang sebelum masuknya unsur-unsur modernisme ke dalam sastra itu. Memang pengertian ini belum begitu jelas, sebab konsep modernisme itu sendiri belum diperoleh kesepahaman. Definisi yang selama ini berkembang, bahwa yang dimaksud dengan modernisme adalah segala unsur yang datangnya dari Barat. Hal ini sebagaimana yang dianut oleh Sutan Takdir Alisyahbana (STA).

Ia berpandangan bahwa untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan, maka harus dibongkar dan meninggalkan unsur dan bentuk-bentuk kebudayaan masa lalu. Masyarakat Melayu perlu menguasai peradaban mutakhir, yang notabene berasal dari Barat. Pandangan tersebut jelas tidak adil dan sangat subjektif. Sebab, tidak semua yang datang dari Barat itu bernilai baik. Demikian pula, tidak berarti semua yang datang dari Dunia Timur itu tidak baik. Bahkan, boleh jadi sebaliknya, Nilai-nilai Timur dalam hat tertentu akan lebih baik daripada nilai-nilai dari Barat.

Sastra Melayu Klasik

Guna menghindari timbulnya penafsiran ganda, untuk lebih mempermudah penentuan tentang “apa itu sastra Melayu klasik” adalah dengan mengaitkannya dengan ukuran waktu. Walaupun tidak eksplisit tentang batas temporal keberadaan sastra Melayu klasik, para ahli umumnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sastra klasik (Nusantara) adalah wujud sastra tercipta sebelum tahun 1920-an, yakni sebelum munculnya trend sastra Angkatan Balai Pustaka.

Selaras dengan struktur kebudayaan “masyarakat yang melahirkannya, sastra hasil itu ada dan berkembang pada zaman belum mengenal nasionalisme, bahkan sebagian besar berakar pada feodalisme. Peristiwa kelahiran sastra klasik berbeda sekali dengan kelahiran suatu cita karya sastra modern. Dalam dunia klasik, hubungan antara sastra dengan masyarakat tempat sastra itu tercipta, amat erat. Sastra itu beredar di masyarakat dan menjadi milik bersama. Oleh sebab itulah, sebagian besar karya klasik bersifat anonim, tidak dikenal siapa pengarangnya.

B. Ciri-Ciri Sastra Melayu Klasik

Untuk membedakan dengan bentuk sastra lainnya, berikut dirumuskan ciri-ciri sastra Melayu klasik, yang penulis ramu dari pendapat Brunvand (1968), Danandjaja (1972), dan Achadiati Ikram (1997).

  1. Penyebarannya secara lisan (oral), yaitu dari mulut ke mulut. Namun demikian, ada pula yang disebarkan lewat tulisan. Namun tentu saja, penyalinannya tidak dengan alat percetakan, melainkan ditulis tangan. Bahan-bahan tulisannya pun khas, yakni ada yang berasal dari bambu, kertas padi, kulit kayu, lontar, nipah, dan sejenisnya.
  2. Disebarkan dalam bentuk yang relatif tetap atau dalam bentuk yang standar serta tersebar di antara kelompok tertentu saja, dan dalam kurun waktu yang cukup lama.
  3. Nama pencipta sastra klasik biasanya sudah tidak diketahui lagi (anonympus). Di samping itu, memang ada juga karya klasik yang tertera pengarangnya. Hanya saja jumlahnya sedikit. Para pengarang yang kondang waktu itu, adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Samatrani, Nuruddin al-Raniri, Abdul Rauf Singkel, dan Tun Sri Lanang. Nama pengarang yang disebut paling akhir ini terkenal dengan karangan-karangannya yang bergaya populer untuk ukuran waktu itu. Karya-karyanya itu, antara lain, Hikayat Raja-raja Pasai, Syair Ken Tambunan, Sejarah Melayu, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Sri Rama, dan Hikayat Undakan Panurat. Selain itu, dikenal pula penulis seperti Abdullah din Abdul Karim Munsyi dan Raja Ali Haji. Selebihnya adalah anonim. Ungkapan stereotip, seperti kata “sahbiluhikayat” atau “menurut yang empunya cerita” atau “demikianlah konon” merupakan penekanan anonimatis oleh sang penyusun cerita.
  4. Sastra Melayu klasik ada dalam versi yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh cara penyebarannya, yang pada dasarnya secara dari mulut ke mulut. Walaupun demikian, perbedaannya hanya terletak pada hal yang kecil-kecil, sementara itu bentuk dasarnya masih identik. Suatu contoh, misalnya mitos Asal-Usul Bangsa Melayu yang tersebar di daerah masyarakat Melayu, Mitos ini menceritakan putri yang lahir dengan cara ajaib yang kawin dengan seorang lelaki keturunan dewa. Dalam sastra klasik, mitos ini telah dicatat dalam beberapa versi, ada yang menyatakan bahwa putri itu lahir dari buah, ada pula yang mengatakan bahwa putri itu lahir dari rumpun bambu, dalam versi lain dinyatakan bahwa sang putri lahir dari langit. Namun demikian, intinya sama bahwa putri ajaib itu kawin dengan lelaki keturuna dewa. Yang menarik, bahwa dalam proses penyebaran itulah, biasanya timbul penambahan-penambahan ataupun kreativitas-kreativitas dari para penyampai cerita. Fenomena tersebut tidak terkecuali pula pada karya yang disebarkan melalui penyalinan (tulisan). Para penyalin rupanya tidak merasa terikat oleh asas kemurnian. Dalam setiap kali menyalin, mereka adalah para pengarang “kecil-kecilan” yang sedikit banyak menuangkan daya kreativitasnya sendiri pada karya yang disalinnya itu. Karenanya, tidak aneh apabila timbulnya ragam versi dari suatu cerita atau kisah yang sama.
  5. Karya klasik ditandai oleh ungkapan-ungkapan klise (formulazired). Misalnya, dalam menggambarkan kecantikan seorang putri selalu dipakai kata-kata “seperti bulan empat belas”, “tiada sebagainya pada masa itu”.Untuk menggambarkan kemarahan seseorang, dinyatakan dengan ungkapan “seperti ular berbelit-belit”. Mengenai medan pertempuran dikatakan “mayat bertimbun seperti bukit” atau “darah mengalir seperti sungai”. Kalimat pembuka dan penutup pada hampir setiap naskah dinyatakan dengan “Bismillaahirrahmaanirrahiim". Alkisah tersebutlah perkataan....” dan “Wa Allahu a'lam bissawab wa ilahilmarji' walma'ab.”
  6. Berfungsi kolektif, misalnya sebagai pelipur lara, protes sosial, media pendidikan, dan proyeksi keinginan terpendam.
  7. Bersifat pralogis, yakni mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum.
  8. Merupakan milik bersama dari kolektif tertentu.
  9. Umumnya bersifat polos dan lugu, kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimaklumi karena cerita rakyat merupakan proyeksi manusia yang paling jujur manifestasinya.

C. Ciri Aspek Kebahasaan Sastra Melayu Klasik

Sastra klasik pada hakikatnya adalah sastra daerah. Karenanya, media pengungkapannya pun adalah bahasa daerah. Artinya, kalau sastra itu berkembang di daerah Melayu, maka bahasa yang diungkapkannya pun adalah bahasa Melayu, demikian pula dengan sastra dari Jawa, media pengungkapannya pun adalah bahasa Jawa. Namun bila dibandingkan dengan bahasa-bahasa lainnya, ternyata bahasa Melayu-lah yang paling banyak dipakai dalam ragam bahasa sastra klasik. Hal itu sangatlah wajar, mengingat ketika itu bahasa Melayu sudah merupakan lingua franca bagi pergaulan masyarakat Nusantara. Pemakaian bahasa Melayu begitu luas penyebarannya, sehingga bahasa Melayu memiliki variasi ragam yang cukup tinggi. Pemakaian bahasa yang terdapat dalam sastra Aceh misalnya, tidak banyak berbeda dengan bahasa Melayu yang terdapat dalam sastra Riau, dan seterusnya. Hal penting lain yang perlu dicatat, bahwa bahasa Melayu pada waktu itu berperan pula dalam penyebaran agama Islam. Islam disebarkan di kawasan Nusantara dengan bahasa Melayu sebagai wahananya. Tidaklah mengherankan bahwa semua daerah di nusantara, yang di masa lampau merupakan kerajaan Islam, menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa untuk menulis karya-karya ataupun dokumendokumen resminya.

Dalam sastra Melayu klasik, jumlah kosakata asing itu relatif masih terbatas. Menurut catatan de Casparis (1956) bahwa gejala adanya pengaruh bahasa asing itu baru bisa diamati sejak abad ke-7 Masehi. Kosakata asing yang paling banyak berpengaruh adalah bahasa Arab, kemudian diikuti oleh bahasa Sansekerta. Aksara Arab dengan berbagai modifikasi dan adaptasi, pada suatu kurun waktu, telah memperoleh tempat yang mantap sebagai cara untuk merekam berbagai bahasa di Nusantara. Dengan nama Jawi atau Pegon, aksara tersebut digunakan untuk bahasa Melayu, Aceh, Minang, Jawa, Sunda, dan bahasa-bahasa lainnya. Dominannya unsur bahasa Arab dalam sastra: klasik, terutama Melayu, dapatlah dimaklumi. Sebab, ternyata bahwa karya-karya sastra Melayu klasik yang terpengaruhi oleh bahasa arab itu banyak yang merupakan hasil terjemahan dari bahasa Arab. Menurut Liau Yock Fang, bahwa orang yang menerjemahkan karya sastra Melayu klasik itu terbagi ke dalam dua kelompok. Pertama, adalah oleh orang Melayu yang berlatar bahasa Arab. Kelompok kedua adalah para pedagang asing itu sendiri, yang sudah belajar bahasa Melayu. Hasil karya kelompok pertama umumnya berupa kitab yang berunsur keagamaan, sedangkan hasil karya kelompok kedua berupa hikayat-hikayat yang bersifat hiburan.

Dalam karya-karya yang sifatnya keagamaan, tentu saja banyak dijumpai kosakata atau istilah-istilah teknis bidang keagamaan (keislaman) yang tidak ada padanannya dalam bahasa Melayu. Para penerjemah tetap mempertahankan istilah-istilah itu. Bila dibandingkan dengan karya-karya hiburan, karya-karya yang sifatnya keagamaan itu banyak dijumpai istilah-istilah serapan, yang merupakan kosakata baru bagi perkembangan bahasa Melayu.

D. Klasifikasi Sastra Melayu Klasik

Adalah sulit bila sastra klasik harus diklasifikasikan berdasarkan waktu (periodisasi). Karya sastra klasik itu tidak mencantumkan waktu penciptaannya. Pada waktu itu karya sastra dianggap milik bersama. Oleh sebab itu, pengklasifikasian yang bisa dilakukan adalah berdasarkan bentuk, berdasarkan isi cerita, dan klasifikasi berdasarkan unsur asing yang berpengaruh di dalamnya (Djamaris, 1990).

1. Berdasarkan Bentuk

Berdasarkan bentuknya, sastra Melayu klasik dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis, yakni sastra klasik yang berupa puisi dan sastra klasik yang berupa prosa, Sedangkan, karya sastra yang berbentuk drama waktu itu belum dikenal. Sastra klasik yang termasuk ke dalam bentuk puisi adalah mantra, pantun, gurindam, syair, dan sejenisnya. Sedangkan yang termasuk ke dalam prosa umumya berbentuk hikayat. Ada pula yang berupa mite, fabel, parabel, dan legenda.

2. Berdasarkan Isi

a. JJ. de Holander membagi karya sastra klasik ke dalam enam jenis, yakni:

  1. karya ilmu tauhid dan ilmu hukum Islam,
  2. legenda yang bernafaskan keislaman,
  3. mitos,
  4. karya-karya bersejarah dan kisah perjalanan,
  5. karya filsafat dan budi pekerti, dan
  6. kitab undang-undang.

b. Roolvink membaginya ke dalam lima kategori, yakni;

  1. cerita-cerita Al'quran,
  2. cerita Nabi Muhammad,
  3. cerita sahabat Nabi muhammad,
  4. cerita pahlawan Islam,
  5. sastra kitab.

c. Edward Dijamaris membagi sastra Klasik itu ke dalam enam jenis, yakni;

  1. kisah tentang para nabi,
  2. hikayat tentang Nabi Muhammad beserta keluarganya,
  3. hikayat pahlawan-pahlawan Islam,
  4. cerita tentang ajaran dan Kepercayaan Islam,
  5. cerita fiktif, dan
  6. cerita mistik atau tasaut.

3. Berdasarkan Pengaruh Asing

Berdasarkan klasifikasi unsur keberpengaruhan budaya (luar), sastra (melayu) klasik dapat dibedakan ke dalam empat golongan. Pertama, hasil sastra Melayu asli, yakni sastra yang tidak atau belum banyak menerima pengaruh asing, khususnya dari Hindu dan Islam. Kedua, sastra pengaruh Hindu. Ketiga, sastra pengaruh Islam. Keempat, sastra pengaruh Jawa.

Posting Komentar untuk "Pengertian Sastra Melayu Klasik Beserta Ciri-Ciri dan Klasifikasinya"