Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Upacara Adat Kalimantan Tengah Lengkap Penjelasannya

Upacara Adat Kalimantan Tengah

Upacara tradisional Kalimantan Tengah tidak dapat dipisahkan dari agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Kalimantan Tengah. Upacara adat ini dibedakan menjadi dua, yaitu upacara adat yang berhubungan dengan daur hidup (misalnya perkawinan, kematian, dsb.) serta upacara adat yang berhubungan dengan aktivitas hidup masyarakat dan lingkungan.

A. Upacara Adat Wadian

Wadian adalah salah satu upacara adat suku Dayak (Dusun, Maanyan, Lawangan, Bawo) dalam rangka pengobatan terhadap orang sakit. Orang-orang Dayak memanfaatkan jasa wadian untuk mengobati sakit yang mereka derita. Upacara wadian dapat berlangsung selama satu minggu lebih. Jenis wadian antara lain Wadian Pangunraun (Pangunraun Jatuh, Pangunraun Jawa), Wadian Dapa, Wadian Tapu Unru, Wadian Dadas, Wadian Bawo, dan Wadian Bulat.

Wadian adalah upacara pengobatan pada suku Dayak Bawo, Dusun, Maanyan, Lawangan, Benuaq, dan Bukit. Suku-suku serumpun ini hidup bertetangga di sekitar wilayah yang berbatasan di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Sedangkan pada suku Melayu pedalaman (suku Melayu Petalangan/suku Talang Mamak) disebut Bulian.

Dewasa ini selain untuk pengobatan, wadian juga telah dikembangkan sedemikian rupa menjadi salah satu kesenian daerah yang dapat dinikmati sebagai sebuah atraksi kesenian yang sangat menarik.

B. Upacara Adat Rukun Kematian Kaharingan

Jenis atau istilah adat rukun kematian Kaharingan meliputi Ngalangkang, Nambak, Ngatet Panuk, Wara, Wara Nyalimbat, Ijambe, Bontang, Kedaton, Manenga Lewu, dan Marabia. "Hanya boleh dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan bulan September setiap tahun" kecuali untuk Kaharingan Lawangan yang upacara kematiannya disebut Wara.

Ketentuan waktu lamanya upacara adat rukun kematian Kaharingan sebagai berikut.
  • Ngalangkang, paling lama dua hari atau menyesuaikan tradisi leluhur.
  • Wara, tiga hari (tidak sampai memotong kerbau).
  • Wara, lima hari dengan memotong kerbau.
  • Wara Nyalimbat, empat belas hari.
  • Nambak, tiga hari.
  • Ijambe, tujuh hari.
  • Marabia, tujuh hari.
  • Manenga Lewu, tujuh hari.
  • Kedaton, sembilan hari.
  • Ngatet Panuk, dua hari.
  • Ngandrei Apui Ramai, tiga hari (tujuh hari hanya untuk para tokoh).

C. Upacara Adat Kematian Suku Dayak Maanyan

Untuk daerah hukum adat suku Dayak Maanyan yang meliputi wilayah Banua Lima, Paju Empat, dan Paju Sepuluh terdapat bentuk-bentuk upacara kematian sebagai berikut.

1. Ejambe, yaitu upacara kematian yang pada intinya pembakaran tulang si mati. Pelaksanaan upacaranya sepuluh hari sepuluh malam.
2. Ngadatun, yaitu upacara kematian yang dikhususkan bagi mereka yang meninggal dan terbunuh (tidak wajar) dalam peperangan atau bagi para pemimpin rakyat yang terkemuka. Pelaksanaannya tujuh hari tujuh malam.
3. Mia, yaitu upacara membatur yang pelaksanaannya selama lima hari lima malam.
4. Ngatang, yaitu upacara mambatur yang setingkat di bawah upacara Mia, Pelaksanaan upacara hanya satu hari satu malam. Kuburan si mati pun hanya dibuat batur satu tingkat saja.
5. Siwah, yaitu kelanjutan dari upacara Mia yang dilaksanakan setelah empat puluh hari sesudah upacara Mia. Pelaksanaan upacara Siwah ini hanya satu hari satu malam. Inti dari upacara Siwah adalah pengukuhan kembali roh si mati setelah dipanggil dalam upacara Mia untuk menjadi pangantu keworaan (sahabat pelindung sanak keluarga).

Isi dari berbagai upacara kematian biasanya berupa pergelaran berbagai kesenian atau tari-tarian tradisional Dayak Maanyan seperti Gintur, Giring-Giring, Bagas, dan Ebu Lele.

D. Upacara Adat Tiwah

Menurut keyakinan Hindu Kaharingan, tujuan tiwah adalah mengantarkan arwah orang yang telah meninggal dunia ke Lewu Tatau atau ke Lewu Liau, yaitu tempat tujuan akhir sempurna bersama Ranying Hatalla (Tuhan). Ritual tiwah memakan waktu selama dua bulan. Ritual tiwah ada sembilan belas tahapan yang harus dilalui untuk mengantar "perjalanan panjang" para arwah menuju Lewu Tatau. Tahapan pertama penyelenggaraan tiwah dimulai dengan mendirikan Balai Nyahu yang akan berfungsi sebagai tempat tulang belulang yang sudah diangkat dari kubur.

Tahapan berikutnya mendirikan anjung-anjung, yaitu bendera simbol jumlah arwah yang akan ditiwahkan. Jumlah anjung-anjung harus tepat dengan yang akan ditiwahkan karena anjung-anjung itu semacam tiket. Jika anjung-anjung kurang, kemungkinan bisa jadi ada arwah yang tidak mendapat "tiket" sehingga tidak bisa meneruskan perjalanan menuju Lewu Tatau. Namun, jika anjung-anjung itu berlebihan juga tidak baik bagi warga yang masih hidup. Bisa-bisa ada yang meninggal karenanya.

Pada tahap ritual inti dikenal sebagai titik perjalanan terberat serta paling riskan dan berbahaya secara supranatural untuk mengantarkan arwah. Oleh karena itu, pada hari-hari itu banyak warga yang harus begadang untuk berjaga-jaga setelah tulang-belulang dimasukkan ke balai. Ritual inti itu diberi nama Tabuh I, Tabuh II, dan Tabuh III yang dilaksanakan dalam tiga hari berturut-turut. Tabuh I sampai Tabuh III memiliki ritual yang sama, hanya saja titik beratnya berbeda, semakin tinggi tingkatan tabuhnya, semakin banyak sesajinya.

Pada ritual tabuh, para keluarga yang melaksanakan tiwah menggelar tarian Manganjan. Mereka menari-nari mengelilingi Sangkai Raya, yaitu pusat kegiatan upacara tiwah. Selain ada Sangkai Raya, di tengah-tengah kegiatan upacara itu ada sepasang patung sapundu, laki-laki dan perempuan. Di patung sapundu itulah diikat kerbau-kerbau yang akan digunakan sebagai hewan korban. Hewan korban tersebut berfungsi sebagai media pengantar untuk mengiringi perjalanan arwah tersebut. Selain kerbau, juga dikorbankan babi dan ayam.

Pada setiap upacara tabuh, satu per satu peserta upacara yang merupakan sanak keluarga dari para leluhur melaksanakan upacara menombak kerbau. Orang yang lebih tua dalam silsilah keluarga mendapat giliran pertama kali menombak kerbau. Darah segar mengucur dari kerbau tersebut, darah yang mengucur itulah yang diyakini bisa menyucikan arwah secara supranatural.

Setelah semua hewan ternak mati, kepala hewan dipotong untuk diletakkan dalam senggaran, yaitu tempat khusus meletakkan kepala hewan korban sebagai persembahan kepada arwah leluhur. Badan hewan korban kemudian dimasak secara khusus untuk pesta di desa itu.

gambar upacara adat tiwah kalteng

E. Upacara Adat Mamapas Lewu

Banyak cara yang dilakukan orang dengan tujuan untuk meminta keselamatan dan berkah juga kedamaian. Salah satunya adalah upacara adat Mampakanan Sahur dan Mamapas Lewu. Bagi masyarakat Dayak Kotawaringin Timur, terutama yang memeluk kepercayaan Kaharingan, upacara Mamapas Lewu merupakan manifestasi tatanan kehidupan dalam berinteraksi dengan komunitas sesama. Ini merupakan gambaran kehidupan masyarakat dari nenek moyang dulu yang cinta damai, terbuka, suka bergaul serta dapat menjalin persatuan dan kesatuan atau yang lebih dikenal warga Kalimantan Tengah dengan falsafah rumah betang.

Kegiatan seperti ini bertujuan untuk membersihkan alam dan lingkungan hidup (petak danum) beserta segala isinya dari berbagai sengketa, bahaya, sial, wabah penyakit, untuk menciptakan suasana panas menjadi dingin dan gerah menjadi sejuk. Upacara ini juga bisa berkonotasi doa yang disampaikan kepada Yang Mahakuasa agar tercipta kehidupan yang abadi di muka bumi, terhindar dari segala musibah, pertikaian, iri, dan dengki, sehingga tercipta kerukunan dan keharmonisan hidup antarumat manusia dan alam lingkungan yang saling mengisi dan menghormati.

F. Tradisi Manetek Kayu

Tradisi manetek kayu memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan suku Dayak. Tradisi ini memperlihatkan kemampuan, keterampilan, dan kekuatan pria Dayak dalam menggunakan pahera untuk bisa bertahan hidup. Ini sama nilainya dengan kemampuan menyumpit, memainkan mandau maupun tradisi lainnya. Tradisi ini merupakan ritual dalam penyambutan tamu khas Dayak Kalimantan Tengah, juga terkait dengan tradisi pantan.

Ritual ini disebut potong pantan atau pantan bahalai. Setiap tamu yang datang pertama kali ke perkampungan Dayak terlebih dahulu menemui tetua adat setempat, yakni basir apu sebagai pimpinan dan diapit empat pendampingnya.

Selain upacara-upacara tersebut, masih ada upacara tradisional lainnya. Misalnya laluhan yaitu mengantar hadiah sebagai bentuk ungkapan kebersamaan antarkampung. Perang adat yaitu saling melempar batang suli sebagai simbol pengganti tombak. Upacara Tetek Pantan, upacara Hasaki atau Hapalas, dan upacara Mangaruhi Iwak.

Demikian ulasan tentang "Upacara Adat Kalimantan Tengah Lengkap Penjelasannya" yang dapat kami sampaikan. Baca juga artikel kebudayaan Kalimantan Tengah menarik lainnya di situs SeniBudayaku.com.



Sumber : Selayang Pandang Kalimantan Tengah : Ir. Nugroho Yuananto

Posting Komentar untuk "Upacara Adat Kalimantan Tengah Lengkap Penjelasannya"