Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kampung Adat di Jawa Barat : Keunikan dan Ciri khasnya

Penduduk yang mendiami Provinsi Jawa Barat beragam, sebab kawasan provinsi ini mengepung wilayah ibu kota Jakarta. Kita tahu bahwa penduduk ibu kota tersebut lebih bercorak urban. Oleh karena lokasi provinsi ini mengepung wilayah ibu kota inilah, penduduk yang mendiami wilayah Provinsi Jawa Barat menjadi beragam.

Meskipun demikian, wilayah Jawa Barat juga memiliki penduduk asli. Penduduk asli yang dimaksud adalah suku Sunda dan Cirebon.

Dahulu suku Sunda mendiami daerah yang terkenal dengan sebutan Priangan. Daerah Priangan, meliputi Kabupaten Cianjur, Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Ciamis. Daerah Priangan disebut juga Tatar Sunda (Tanah Sunda).

Di daerah Tatar Sunda ini masih terdapat beberapa kampung adat. Tiap-tiap kampung adat tersebut mempunyai keunikan dan ciri khas tersendiri. Beberapa kampung adat di Jawa Barat tersebut antara lain.

Kampung Naga Jawa Barat

Kampung Naga merupakan perkampungan yang dihuni oleh sekelompok masyarakat kecil (2 RT) yang sangat kuat memegang hukum adat leluhur. Kampung Naga terletak di Desa Neglasari Kecarnatan Selawu, Kabupaten Tasikmalaya.

Sejak kecil setiap warga suku Naga dididik untuk hidup bergotong-royong dengan sesama warga sekampung. Mereka yakin semua warga masih saudara. Pengertiannya, baik saudara dekat maupun jauh. Hal ini karena mereka masih satu nenek moyang Sembah Dalem Eyang Singaparna yang dimakamkan di lereng Gunung Kracak yang hutannya sangat lebat.

rumah-adat-suku-naga-di-kampung-naga-jawa-barat
Rumah Adat Suku Naga di Jawa Barat
Semua warga kampung dilarang keras menebang pohon-pohon hutan di lereng Gunung Kracak. Bukan itu saja, sekadar mengumpulkan ranting-ranting kayu kering untuk kayu bakar pun tidak boleh. Kayu bakar harus diambil dari kebun dan pekarangan setiap warga. Mengambil pohon-pohon dari hutan menjadi pepali (pantangan) bagi seluruh warga Kampung Naga.

Seluruh warga kampung Naga menjalani hidup sederhana. Contoh mengenai bentuk rumah. Warga Kampung Naga menggunakan bentuk rumah panggung. Selain itu, di tiap rumah kampung ini tidak menyediakan perabot meja dan kursi, alat-alat elektronik, dan lain-lain. Anak cucu yang merasa tidak puas dengan hidup sederhana tersebut boleh merantau dan mencari nafkah di luar kampung.

Kampung Kuta

Kampung ini berada di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis. Kampung ini dikelilingi oleh tebing, hingga seperti benteng yang mengelilingi kampung (kuta artinya pagar tembok).

Kampung Kuta merupakan kelompok masyarakat yang memegangi adat dengan kuat. Seluruh warga kampung Kuta beragama Islam dan berpegang teguh pada adat. Mereka meyakini adanya tempat-tempat khusus yang keramat dan makhluk halus. Mereka juga meyakini kepercayaan terhadap perhitungan-perhitungan adanya hari baik.

Kampung Dukuh

Kampung ini terletak di Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut. Luas kampung ini lebih kurang 18 ha. Dari kota Garut lebih kurang berjarak 100 km. Untuk dapat sampai ke lokasi kampung, dapat ditempuh dengan naik Ojek atau naik truk dari pintu Dukuh di pinggir jalan raya jalur Cimari-Pameungpeuk.

Konon, kampung adat ini didirikan oleh tokoh yang bernama Syekh Abdul Jalil, yang dipercaya sebagai bawahan Rangga Gempol (Bupati Sumedang). Masyarakat adat menyebutnya sebagai ”Eyang Wali” yang menjadi penyebar Islam di Kampung Adat Dukuh itu. Eyang Wali yang juga mengajarkan tasawuf dengan inti ajaran hidup sederhana, juga dimakamkan di Kampung Dukuh. Makam tersebut dikeramatkan masyarakat setempat dan disebut sebagai makam Karomah (makam tersebut diziarahi masyarakat kampung setiap hari Sabtu).

Kampung Dukuh dipimpin oleh seorang kuncen (kepala adat). Kuncen selalu dipilih dari laki-laki yang menguasai ajaran Islam dan juga memiliki sikap kepemimpinan. Dalam menjalankan tugas, kuncen dibantu oleh tiga orang pembantu, masing-masing dua orang lawang (laki-laki) dan dua orang awewe (perempuan).

kampung-dukuh-jawa-barat
Kampung Dukuh di Jawa Barat
Masyarakat Kampung Dukuh memelihara serta memegangi adat istiadat dengan teguh. Dalam adat istiadat kampung dikenal beberapa pemali (tabu/ larangan-larangan). Di antara pemali-pemali tersebut misalnya: berdagang, menjadi pegawai negeri, memelihara binatang berkaki empat (misalnya kambing dan kerbau). Selain itu, ada juga tabu-tabu, terutama saat melakukan upacara ziarah di makam (misalnya dilarang mengenakan kain bermotif seperti batik atau bordir, larangan memakai perhiasan bagi kaum perempuan, larangan merokok, meludah, kencing, membunuh binatang dan merusak, dan selalu menjaga wudu).

Selain itu, warga Kampung Dukuh juga amat menjaga lingkungan hidupnya. Mata air yang terletak di lokasi makam Karomah dijaga kebersihannya dalam rangkaian upacara ziarah setiap hari Sabtu.

Kampung Cikondang

Kampung ini terletak di wilayah Desa Lumajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Warga kampung beragama Islam, tetapi juga memiliki kepercayaan pada adat (roh-roh leluhur). Mereka meyakini roh-roh para leluhur tersebut melindungi mereka.

Warga kampung adat ini berkomunikasi dengan roh-roh para leluhur dengan upacara-upacara adat. Warga kampung juga memiliki berbagai tabu, misalnya melangkahi nasi tumpeng (yang akan digunakan dalam kegiatan upacara), menginjak bang barung (alas pintu), serta melakukan upacara pada hari Jumat dan Sabtu.

Kampung Mahmud

Letak kampung ini di wilayah Desa Mekarrahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung. Konon, warga kampung adat ini adalah keturunan Eyang Dalem Abdul Manaf yang datang dari negeri Arab sambil menggenggam tanah. Segenggam tanah tadi diletakkan di kawasan rawa, yang konon angker, di pinggir Sungai Citarum. Segenggam tanah itulah yang kini menjadi lokasi Kampung Mahmud itu. Menurut cerita dari mulut ke mulut, peristiwa tersebut terjadi kurang lebih pada abad XV.

Masih menurut cerita dari mulut ke mulut, Eyang Dalem Abdul Manaf adalah keturunan raja Cirebon. Beliau termasuk penyebar agama Islam di Bandung. Sesudah Eyang Dalem mendirikan rumah (di Kampung Mahmud tersebut), orang-orang juga berdatangan mendirikan rumah di sana.

Kampung Mahmud memiliki sejumlah adat istiadat yang masih dipegang teguh. Di antara adat-istiadat tersebut adalah pemali-pemali (pantangan) seperti tidak boleh ada bangunan berdinding tembok, rumah beratap genting barong, dan berkaca. Selain itu, juga tidak boleh ada tabuhan beduk dan gong besar. Tidak boleh pula ada binatang semacam angsa atau kambing, dan sejumlah pemali yang lain. Jika pemali-pemali tersebut dilanggar, konon akan menimbulkan bencana.

Kampung (Gede Kasepuhan) Ciptagelar

Letak kampung ini berada di wilayah Kampung Sukamulya, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Nama Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar (selanjutnya disebut Ciptagelar) sebenarnya merupakan nama baru untuk Kampung Ciptarasa.

Tepatnya, semenjak tahun 2001 (lebih kurang sekitar bulan Juli) Kampung Ciptarasa yang berasal dari Desa Sirnarasa melakukan ”hijrah wangsit” ke Desa Sirnaresmi. Di desa baru inilah (tepatnya Kampung Sukamulya, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi) pimpinan masyarakat adat memberikan nama baru, yaitu Ciptagelar. Nama pimpinan warga masyarakat adat tersebut adalah Abah Anom atau Bapa Encup Sucipta.

kampung-ciptagelar-jawa-barat
Kampung Ciptagelar di Jawa Barat
Kampung (Gede Kasepuhan) Ciptagelar memiliki ciri khas dalam hal lokasi dan bentuk rumah serta tradisi yang masih dipegang kuat. Mungkin hal ini bisa dipahami dari pengertian ”kasepuhan” yang berarti adat kebiasaan tua atau adat kebiasaan nenek moyang.

Kampung Pulo

Letak kampung adat seluas 10,5 ha ini berada di tengah Situ (danau) Cangkuang, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Menurut keyakinan masyarakat setempat, warga kampung adat ini merupakan keturunan Embah Dalem Arif Muhammad. Konon, sejarah Embah Dalem sendiri, konon merupakan salah satu pemimpin pasukan Mataram yang diutus Sultan Agung untuk menyerang Batavia (abad XVII).

Seperti diketahui, penyerangan pasukan Mataram mengalami kegagalan. Embah Dalem pun tidak berani pulang ke Mataram. Kemudian, beliau menetap Sekaligus menyebarkan agama Islam di daerah yang kini disebut sebagai Kampung Pulo itu.

kampung-pulo-jawa-barat
Kampung Pulo di Jawa Barat
Kompleks Kampung Pulo hanya terdiri atas enam buah rumah tinggal dan sebuah musala (penambahan bangunan tidak diperkenankan di kampung adat ini). Konon, jumlah bangunan rumah tinggal ini ada kaitannya dengan jumlah anak Embah Dalem Arif. Embah Dalem memiliki enam orang anak, yaitu lima perempuan dan seorang laki-laki (yang meninggal dunia waktu kecil). Setiap anaknya menempati satu rumah tinggal dam berjejer menghadap utara dan selatan. Bangunan musala menjadi perlambang anak laki-laki satu-satunya yang meninggal sewaktu akan dikhitan.

Salah satu pemali dalam kampung adat ini adalah memelihara binatang besar berkaki empat. Pemali ini mungkin berkaitan dengan keterbatasan lahan kampung adat itu sendiri, karena terletak di tengah-tengah situ atau danau kecil, yaitu Situ Cangkuang.

Kampung Urug

Secara administratif, Kampung Urug termasuk wilayah Desa Kiarapandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. Kampung ini dialiri oleh tiga buah sungai, yakni Ciapus, Cidurian, dan anak Sungai Ciapus. Di kampung ini para warganya merupakan keturunan Prabu Siliwangi (seuwu siwi Siliwangi). Menurut para kololot (pemimpin masyarakat adat), waktu Prabu Siliwangi di Kadu Jangkung, konon beliau berkata bahwa pada suatu saat Kampung Urug akan menjadi daerah pertanian.

Dalam bertani tingkah laku masyarakat Kampung Urug tidak lepas dari legenda: Nyi Sari Pohaci, atau lebih dikenal dengan sebutan Dewi Sri. Sebagai contoh, Dewi Sri mendapat haid pertama hari Senin, maka bagi masyarakat Urug hari tersebut merupakan pantangan untuk mengurus padi, sedangkan pada hari Jumat, darah menstruasinya disiram dengan air dan jatuh ke bumi. Hari Jumat itulah yang merupakan pantangan bagi warga Kampung Urug untuk pergi ke sawah. Bagi masyarakat kampung ini Dewi Sri diyakini sebagai putri Prabu siliwangi yang meninggal saat belum menikah.

Salah satu keunikan kampung ini adalah adanya leuit (lumbung padi) di seluruh rumah. Kampung ini juga termasuk salah satu masyarakat yang masih menjaga budaya Sunda Buhun dari para karuhun (nenek moyang).

Baca juga:
Mengenal Kebudayaan Daerah Jawa Barat
Pakaian Adat Jawa Barat Lengkap, Gambar dan Penjelasannya
Kesenian Tradisional Jawa Barat Lengkap Penjelasannya
Rumah Adat Jawa Barat Lengkap Penjelasannya
Bahasa Daerah Jawa Barat Lengkap Penjelasannya

Posting Komentar untuk "Kampung Adat di Jawa Barat : Keunikan dan Ciri khasnya"